13 January 2010

Taman Bermainku (#6): Musim Nangkul II


Hari-hari ini celotehan di rumah Boni dipenuhi oleh cerita tentang nangkul dan betapa senangnya kalau punya tangkul sendiri. ".. nanti kalau membeli tangkul, jangan yang kecil, tidak enak.." ujarnya di meja makan. Kakaknya, Lina,menukas,"siapa yang mau beli tangkul?" Setengah jengkel, Boni menjawab, "Tidak ada, hanya 'kalau'.." Kejengkelan yang beralasan, dia tahu kecil kemungkinan Mak membelikan tangkul untuknya dan Tila. Lina dan Tati kedua kakaknya yang lebih tua juga tidak pernah punya tangkul. Mak tidak suka kalau rumah menjadi becek dan bau.

Mak, ibu Boni, memang pembersih dan ingin semuanya rapih dan mengajarkan Boni dan kakak-kakaknya akan tanggungjawab, kebersihan dan kerapihan. Tiap anak punya tugas dan lokasi yang menjadi tanggung jawabnya. Boni, si bungsu, punya tugas paling ringan, memastikan gelas Aba, ayah Boni, selalu penuh dengan air teh dan es. Tila bertugas menata piring untuk makan. Lina dan Tati yang lebih besar bertugas menyapu dan membersihkan ruang tamu dan ruang keluarga bergantian. Tangkul dan ikan tangkapan pastinya akan membawa becek, kotor dan bau ke dalam rumah. Tentu saja Lina dan Tati tidak suka kalau tugasnya bertambah gara-gara tangkul.
Siang itu Mak menerima tamu di teras belakang. Hal yang jarang terjadi, karena tamu biasanya langsung masuk lewat pintu belakang. Setelah tamu pulang, Boni mendekati Mak, di meja ada sepotong rajutan terlipat, Boni membukanya dan berteriak senang, jaring tangkul! Tidak besar, tapi lebih besar dari punya Oti. Mak bilang itu untuknya dan Tila dan tidak boleh rebutan. Syarat lain, harus membersihkan tangkul dan ikan sendiri setelah nangkul. Pokoknya rumah harus tetap bersih dan tidak bau. Di luar, di sisi pagar ternyata sudah ada bambu-bambu yang dibutuhkan.
Tidak sabar, sore itu juga Boni dan Tila langsung menyiapkan tangkul, di bantu Mak Yah, pengasuh setia. Setelah siap, Boni membawanya ke sungai, sementara Tila mencari ember di samping rumah yang biasa dipakai tempat jemuran dan segera menyusul. Bibir kedua anak itu tak henti tersenyum, walau Boni sedikit tersengal karena tangkul lebih berat dari yang diduganya.
Tangkul Eda dan Oti sudah terpancang, begitu juga milik Nia, sepupu Boni lainnya. Semuanya berdekatan. Selain pemilik tangkul, ada juga Teteh, sepupu Boni lainnya, dan Pia teman mereka. Boni menurunkan tangkulnya di sebelah tangkul Oti. Anak-anak mengerumuni sambil mengagumi tangkul baru yang masih putih bersih itu. Boni dan Tila bangga sekali.
Sambil bermain dan bercanda, sesekali mereka mengangkat tangkul. Heran! sedikit sekali ikan yang terjaring di tangkul Boni. Eda bilang ikan tak suka bau jaring dan bambu yang baru. Tila tidak terima tangkulnya dianggap penyebab larinya ikan. Baku mulut terjadi dan hampir terjadi perang jambak. Teteh, sahabat Tila sudah mendekat untuk membela Tila. Untung Nia menenangkan Tila dengan mengajak mengerai ikan agar masuk ke tangkul.

Sebagian turun ke sungai, mengaduk air di bawah kumpe yg ada di sekitar tempat nangkul, dan kemudian bergerak maju sambil dengan tangan mengenyipakkan dan mengarahkan air ke tempat mereka nangkul. Yang tinggal di atas lalu mengangkat tangkul. Begitu berulang-ulang, anak-anak silih berganti turun ke sungai. Pakaian mereka sudah basah kuyup. Kadang mereka melemparkan kumpe ke tangkul, dengan harapan ikan akan mengikuti tempat persembunyian mereka ke tangkul. Lama-lama segarnya berada di dalam sungai membuat tangkul terlupakan. Anak-anak malah sibuk bermain di air dan berenang.

Matahari mulai condong ke barat. Dengan baju basah Boni dan Tila pulang ke rumah. Tila tersengal membawa tangkul yang bertambah berat karena basah, melewati rumah dan menuju pintu samping tempat menjemur baju. Dari teras Boni berlari masuk rumah, meninggalkan ember ikan di dapur, lalu membukakan pintu samping buat Tila. Tangkul yang kotor dan bau tidak boleh masuk ke rumah! Terlalu lelah Tila, hanya menyandarkan tangkul ke dinding, tanpa membuka dan membersihkan jaringnya. "Nanti", ujar Tila.

Di dapur, tugas Boni menunggu. Beberapa belas ikan seluang dan beberapa udang kecil hasil tangkul mereka harus disiangi dan digoreng. Dengan kaku, Boni membersihkannya satu persatu dengan pisau di tangan kirinya sesuai petunjuk Mak Yah. Boni memang kidal, dan tidak seperti Tila, sangat tidak suka berada di dapur. Setelah dibersihkan, ikan dan udang mungil itu kemudian dimasukkan ke dalam larutan asam dan garam yang dibuat Tila.

Mak Yah kemudian menggoreng ikan dan udang tersebut. Hasilnya? sejumput ikan dan udang yang makin mungil, yang berwarna kuning keemasan dengan aroma yang membangkitkan selera. Untungnya nasi panas sudah tersedia dan Mak Yah segera menyiapkannya dalam 2 piring kecil dan menata ikan-udang goreng hasil nangkul di atasnya. Boni dan Tila menikmati hasil tangkulan mereka dengan lahap, tapi hanya beberapa suap ikan dan udang itu sudah tak bersisa.

Sore keesokan harinya, Boni dan Tila berlarian ke sungai untuk melihat orang menangkul dan bermain di sungai. Tangkul mereka diistirahatkan di rumah. Juga esoknya, dan esoknya lagi. Sebenarnya, sejak dibersihkan sore hari itu, sang tangkul tidak pernah keluar lagi dari tempat peristirahatannya. Setidaknya tidak bersama Boni dan Tila.

No comments: