12 October 2010

Temu Alumni Aspuri. Pengen Lagii...!

Sabtu pagi jelang siang, berdebar-debar aku menanti pertemuan dengan kakak-kakak alumni Aspuri ITB. Setelah berjuang di kemacetan Dago (maklum aja, temu alumni ini kan digelar bersamaan dengan Pasar Seni yang cuma sekali -dan sehari saja- dalam 4 tahun), akhirnya aku sampai di Gelap Nyawang 2. Bangunan ini telah berganti fungsi, jadi klinik keluarga Ganesha. Ruang-ruangnya telah pula berganti fungsi. Saat ini cuma bisa membayangkan kenangan masa lalu, saat kita masih bersama, di salah satu kamar di sana.
Ahad siang itu, berkumpul dengan kakak-kakak bahkan ibu-ibu alumni Aspuri, subhanallah... Sebuah rasa yang tak bisa diungkapkan menyelinap di dada. Melihat para senior bertukar cerita, wah... senangnya. Nyanyi-nyanyi, aku ikutan juga nyumbang lagu, duet dengan uni Upiek a.k.a. ibunya Ifad, muridku dulu. Nyanyiin lagu jadul, "Sepanjang Jalan Kenangan". Berfoto bersama, sudah jadi agenda wajib. Di ruangan rapat (hm.. itu bekas kamar 15 dan 16 yang dijadikan satu deh, kayaknya), di halaman dalam, di depan pintu, pendeknya sih, di mana-mana. 
Ruang santai dengan TV dan remote ranting pohon, sekarang sudah bersekat tak menyisakan ruang lapang untuk main pingpong atau nonton bersama. Kamar 14 yang relatif kecil (untuk 3 orang), masih ada. Mengingatkan bahwa aku pernah tinggal di sana. Kamar 15 dan 16 disatukan jadi sebuah ruang besar, cukup untuk konferensi kecil, seperti yang kami lakukan saat ini.
Bersama bunda-bunda angkatan 50-an
Aku sempat juga berfoto bersama angkatan tertua di Asrama Putri, angkatan 50-an. Terharu deh. Lha wong pada saat mereka sudah kuliah, aku belum lahir. Bahkan orang tuaku pun belum lagi bertemu. :p fyi, aku lahir tahun 1971, jadi pada saat angkatan 60-an masuk kuliah pun, aku masih belum ada di dunia ini. Dan ternyata sekarang bertemu dengan mereka-mereka di dalam satu ruangan, bahkan berfoto bersama ;). Sungguh luar biasa. Jadi ingin reuni lagi. Dan lagi... Berharap semangat mereka yang tak pernah mati, menulari diri ini, supaya bisa berkarya lebih banyak lagi, untuk negeri ataupun diri sendiri (hini... maksa, pengen bikin kalimat yang ber-rima :p)

13 January 2010

Taman Bermainku (#6): Musim Nangkul II


Hari-hari ini celotehan di rumah Boni dipenuhi oleh cerita tentang nangkul dan betapa senangnya kalau punya tangkul sendiri. ".. nanti kalau membeli tangkul, jangan yang kecil, tidak enak.." ujarnya di meja makan. Kakaknya, Lina,menukas,"siapa yang mau beli tangkul?" Setengah jengkel, Boni menjawab, "Tidak ada, hanya 'kalau'.." Kejengkelan yang beralasan, dia tahu kecil kemungkinan Mak membelikan tangkul untuknya dan Tila. Lina dan Tati kedua kakaknya yang lebih tua juga tidak pernah punya tangkul. Mak tidak suka kalau rumah menjadi becek dan bau.

Mak, ibu Boni, memang pembersih dan ingin semuanya rapih dan mengajarkan Boni dan kakak-kakaknya akan tanggungjawab, kebersihan dan kerapihan. Tiap anak punya tugas dan lokasi yang menjadi tanggung jawabnya. Boni, si bungsu, punya tugas paling ringan, memastikan gelas Aba, ayah Boni, selalu penuh dengan air teh dan es. Tila bertugas menata piring untuk makan. Lina dan Tati yang lebih besar bertugas menyapu dan membersihkan ruang tamu dan ruang keluarga bergantian. Tangkul dan ikan tangkapan pastinya akan membawa becek, kotor dan bau ke dalam rumah. Tentu saja Lina dan Tati tidak suka kalau tugasnya bertambah gara-gara tangkul.
Siang itu Mak menerima tamu di teras belakang. Hal yang jarang terjadi, karena tamu biasanya langsung masuk lewat pintu belakang. Setelah tamu pulang, Boni mendekati Mak, di meja ada sepotong rajutan terlipat, Boni membukanya dan berteriak senang, jaring tangkul! Tidak besar, tapi lebih besar dari punya Oti. Mak bilang itu untuknya dan Tila dan tidak boleh rebutan. Syarat lain, harus membersihkan tangkul dan ikan sendiri setelah nangkul. Pokoknya rumah harus tetap bersih dan tidak bau. Di luar, di sisi pagar ternyata sudah ada bambu-bambu yang dibutuhkan.
Tidak sabar, sore itu juga Boni dan Tila langsung menyiapkan tangkul, di bantu Mak Yah, pengasuh setia. Setelah siap, Boni membawanya ke sungai, sementara Tila mencari ember di samping rumah yang biasa dipakai tempat jemuran dan segera menyusul. Bibir kedua anak itu tak henti tersenyum, walau Boni sedikit tersengal karena tangkul lebih berat dari yang diduganya.
Tangkul Eda dan Oti sudah terpancang, begitu juga milik Nia, sepupu Boni lainnya. Semuanya berdekatan. Selain pemilik tangkul, ada juga Teteh, sepupu Boni lainnya, dan Pia teman mereka. Boni menurunkan tangkulnya di sebelah tangkul Oti. Anak-anak mengerumuni sambil mengagumi tangkul baru yang masih putih bersih itu. Boni dan Tila bangga sekali.
Sambil bermain dan bercanda, sesekali mereka mengangkat tangkul. Heran! sedikit sekali ikan yang terjaring di tangkul Boni. Eda bilang ikan tak suka bau jaring dan bambu yang baru. Tila tidak terima tangkulnya dianggap penyebab larinya ikan. Baku mulut terjadi dan hampir terjadi perang jambak. Teteh, sahabat Tila sudah mendekat untuk membela Tila. Untung Nia menenangkan Tila dengan mengajak mengerai ikan agar masuk ke tangkul.

Sebagian turun ke sungai, mengaduk air di bawah kumpe yg ada di sekitar tempat nangkul, dan kemudian bergerak maju sambil dengan tangan mengenyipakkan dan mengarahkan air ke tempat mereka nangkul. Yang tinggal di atas lalu mengangkat tangkul. Begitu berulang-ulang, anak-anak silih berganti turun ke sungai. Pakaian mereka sudah basah kuyup. Kadang mereka melemparkan kumpe ke tangkul, dengan harapan ikan akan mengikuti tempat persembunyian mereka ke tangkul. Lama-lama segarnya berada di dalam sungai membuat tangkul terlupakan. Anak-anak malah sibuk bermain di air dan berenang.

Matahari mulai condong ke barat. Dengan baju basah Boni dan Tila pulang ke rumah. Tila tersengal membawa tangkul yang bertambah berat karena basah, melewati rumah dan menuju pintu samping tempat menjemur baju. Dari teras Boni berlari masuk rumah, meninggalkan ember ikan di dapur, lalu membukakan pintu samping buat Tila. Tangkul yang kotor dan bau tidak boleh masuk ke rumah! Terlalu lelah Tila, hanya menyandarkan tangkul ke dinding, tanpa membuka dan membersihkan jaringnya. "Nanti", ujar Tila.

Di dapur, tugas Boni menunggu. Beberapa belas ikan seluang dan beberapa udang kecil hasil tangkul mereka harus disiangi dan digoreng. Dengan kaku, Boni membersihkannya satu persatu dengan pisau di tangan kirinya sesuai petunjuk Mak Yah. Boni memang kidal, dan tidak seperti Tila, sangat tidak suka berada di dapur. Setelah dibersihkan, ikan dan udang mungil itu kemudian dimasukkan ke dalam larutan asam dan garam yang dibuat Tila.

Mak Yah kemudian menggoreng ikan dan udang tersebut. Hasilnya? sejumput ikan dan udang yang makin mungil, yang berwarna kuning keemasan dengan aroma yang membangkitkan selera. Untungnya nasi panas sudah tersedia dan Mak Yah segera menyiapkannya dalam 2 piring kecil dan menata ikan-udang goreng hasil nangkul di atasnya. Boni dan Tila menikmati hasil tangkulan mereka dengan lahap, tapi hanya beberapa suap ikan dan udang itu sudah tak bersisa.

Sore keesokan harinya, Boni dan Tila berlarian ke sungai untuk melihat orang menangkul dan bermain di sungai. Tangkul mereka diistirahatkan di rumah. Juga esoknya, dan esoknya lagi. Sebenarnya, sejak dibersihkan sore hari itu, sang tangkul tidak pernah keluar lagi dari tempat peristirahatannya. Setidaknya tidak bersama Boni dan Tila.

08 January 2010

Taman Bermainku (#5): Musim nangkul I


Musim ikan sudah tiba. Boni melihat Eda, salah satu sepupu teman mainnya berjalan menuju tepi sungai bersama kedua adiknya. Eda membawa sebatang bambu utuh yg di bagian atasnya tergantung 2 kolong bambu, serta empat bilah bambu lebih pendek yang salah satu ujungnya seperti panah. Satu adiknya membawa jaring seperti rajutan yang masih terlipat, yang lain membawa ember dan kaleng bekas susu. Semua peralatan dasar untuk menangkul ikan.
Kok tahu kalau musim ikan? Eda, si tahu segala, pernah bilang, "Lihat awan, kalau membentuk seperti sisik2 ikan, artinya musim ikan." Boni menengadah, memang awan tipis di atas terlihat seperti sisik2 ikan. Bergegas Boni mencari sandal jepitnya dan menyusul ke laut, sebutan untuk ke arah sungai. Dan benar saja, di tepi sungai memang banyak orang menangkul. Eda mulai memasang tangkulnya. Mula2 jaring rajut berbentuk bujur sangkar dibentangkan. Kemudian, tali yang ada di sudut2nya diikatkan pada tiap bilah bambu pas di atas ujung yang seperti anak panah. Ujung lainnya dimasukkan kedalam kolong yang ada pada batang bambu dan membuat bilah tersebut membusur. Tangkulpun siap. Batang bambu berfungsi sebagai tangkai untuk mengangkat tangkul. Dengan tangkul yang cukup berat di tangannya, Eda menuju lanting, mencari lokasi yang menurutnya banyak ikan, dan menurunkan tangkul ke sungai. Adiknya mengisi ember dg air, buat tempat ikan.
Boni sangat senang melihat orang menangkul. Para sepupunya juga begitu. Musim menangkul memang menyenangkan. Mondar-mandir dari satu tangkul ke tangkul yang lain, memeriksa ember-ember di sisi tangkul, melihat sudah berapa banyak ikan atau udang yang di dapat. Bila ada yang sedang mengangkat tangkul dan banyak ikan di jaring, dia bergegas mendekat dan kadang membantu mengambil ikan dari jaring dg kaleng bekas. Semua dilakukan dengan penuh tawa dan canda ria. Pokoknya tepi sungai menjadi meriah saat musim nangkul.
Ada dua cara nangkul. Anak2 biasanya menangkul pancang di pinggir sungai. Tangkulnya terpaku di dasar sungai dan diangkat kalau ingat. Satu cara lagi nangkul hanyut. Cara ini jauh lebih sulit, dan biasanya dilakukan oleh orang dewasa dengan tangkul yang besar. Di sungai yang lebih dalam, tangkul diturunkan dari arah hulu mengikuti arus melewati badan, dan kemudian diangkat, begitu berulang-ulang badan penangkul selalu bergerak kekiri kekanan. Dengan cara ini ikan yang didapat lebih banyak. Biasanya tangkul jenis ini diikat dengan tali tambang pada tonggak bambu yang ditanamkan di air. Tali tambang berfungsi sebagai pengungkit.
Ikan yang didapat dengan menangkul umumnya ikan kecil seperti seluang bilis, sapil, sepat, dan sepatung. Kadang ada kutak yang lagi sial. Kalau mendapat ikan gabus, apalagi besar, itu pasti ikan pelarian yang berhasil lompat dari perahu saat mau dijual. Memang pada pagi hari banyak tukang ikan berjualan dengan menggunakan perahu.
Kalau ada ikan kecubang warna warni atau ikan sitem hitam pekat yang nyasar ke tangkul, mereka dengan manis akan memintanya, karena ikan jenis itu tidak umum dimakan. Bila beruntung diberi ikan cantik, biasanya Boni segera pulang dan memasukkan ikan tersebut dalam botol bekas selai. Kadang, mereka menyimpan dulu ikan cantik itu di genangan air yang kadang terdapat di palka jukung. Sayangnya, seringkali mereka lupa untuk mengambil simpanan tersebut saat pulang.
Penangkul paling handal adalah Ibok, panggilan Boni pada salah satu adik perempuan Yai. Hari-hari musim nangkul, Ibok pasti ada di sungai dengan tangkulnya yang ekstra besar. Tentu saja Ibok nangkul hanyut. Beberapa jam nangkul, biasanya ember Ibok sudah penuh. Kalau lagi musim teri bilis, bagian tengah tangkul ibok ditambal dengan kain kasa, untuk menangkul ribuan teri bilis bening yang bening. Kalau Ibok sedang senang, para cucu akan dikasih masing-masing segenggam seluang untuk dibawa pulang. Boni biasanya langsung menyerahkannya pada Mak Yah pengasuhnya untuk disiangi dan digoreng. Kalau hasilnya benar-benar berlimpah, Ibok akan membuat pempek. Pempeknya terlihat jelek kehitaman dibandingkan pempek gabus atau belida yang biasa mereka makan. Tapi di lidah Boni terasa lebih gurih.
Di pinggir sungai yang dangkal, tangkul anak2 terpancang. Kadang diangkat dengan beberapa ekor ikan atau udang kecil di atasnya. Lebih sering lagi, kosong. Bosan, biasanya anak-anak mulai berulah, atas nama mengerai (mengarahkan) ikan ke tangkul, mereka masuk keair, berenang dan berjalan di dasar sungai, membuat sungai menjadi tambah keruh, kadang memasukkan kumpe ke dalam tangkul, membuat jaring tangkul menjadi kotor. Semua itu upaya yang seringkali sia-sia agar ikan masuk ke tangkul.
Umumnya acara nangkul berakhir dengan berenang di sungai dan tangkul terlupakan. Kadang berakhir dengan keributan dan tangis akibat saling cemooh tidak mendapat hasil tangkulan. Oti yang tangkulnya paling kecil paling sering nangis. Boni, tidak pernah menangis karena tidak punya tangkul.

11 December 2009

Pengalaman Mantu: Para Vendor

Walau sporadis, persiapan mantu sudah dimulai segera setelah melamar pada tgl 3 oktober 2008. Untungnya punya beberapa kesempatan untuk ke solo dan palembang, buat hunting batik dan songket untuk seserahan. Toko Pulau Harapan di Laweyan Solo, dan Rumah Limas, Palembang merupakan persinggahan tetap. Sisa materi seserahan dibeli sendiri oleh calon manten.

Penyusunan seserahan dalam kotak2 indah penuh selera beserta pernak pernik untuk acara siraman dikreasikan oleh Tante Aannya Bhakti yang merajut bisnis di bidang ini.


Anak-anak pesan Pusdai sekitar Maret, ternyata tanggal yg kosong 31 oktober 2009 dan setelahnya. Ternyata, tanggal baik bulan baik model sekarang ditentukan oleh ketersediaan gedung.. Setelah liat foto, ternyata interior mesjid tempat akad nikah sangat indah..

Setelah itu, the ladies menyempatkan diri untuk bertemu guna membahas anggaran dan gambaran umum acara dan adat mana yang akan dipakai. Maklum, Tika Sunda asli dan Bhakti blasteran Solo Palembang. Sebagai pihak laki, saya menyerahkan keputusan pada keluarga besan. Namun besanku yang baik menawariku untuk menggunakan adat Jawa atau Palembang, dg pertimbangan Bhakti anak tunggal. Enaknya kalau segala sesuatu dimulai dengan keterbukaan. Akhirnya, Sang calon pengantin yang memberikan kata putus, resepsi dengan nuansa Palembang. Acara adat saat akad nikah menggunakan adat Sunda. Belakangan Tika mengaku sebetulnya ingin adat Jawa, tapi Yangtie tercinta telah tiada (Februari 2009).

Nuansa palembang membuatku sebagai 'pemangku' adat terlibat agak dalam. Terjemahanku untuk nuansa adalah menggunakan songket sebagai kain dan tanjak sebagai tutup kepala buat pengantin dan orang tuanya, serta tari tanggai sebagai pembuka saat pengantin menuju pelaminan. Untungnya ada Inacraft di Jakarta dan kita bisa memilih songket di Rumah Limas tanpa harus ke palembang. Aku mengaduk-aduk penganggon (set pengantin palembang) peninggalan dr bisnis ibuku di palembang untuk aksesori kepala dan kalungnya. Next, tentunya kebaya pengantin dan para ibu.. beramai-ramai kami mencari dan memilih bahan kebaya di Jakarta sebelum menghadiri 100 harinya Yangti. Whew, saya baru sadar kalau bahan kebaya bisa semahal itu. Kebaya dijahit di addistie dan lystia. Hehe, karena overbudget, keputusan bahwa para bapak hanya pakai satu jas langsung dibuat.

Juni dan Juli adalah bulan2 tersibuk, memilih dan memutuskan berbagai hal. Tika sudah menentukan broken-white adalah color of the day. Jadi kebaya seragam bordir broken-white dan bawahnya songket-songketan. bordir para saudara dirancang sendiri oleh salah satu keluarga Tika, sisanya dipesan dari Pak Haji Abdurochim, Kawalu. Songket, sebagian besar dari toko Wijaya, pasar baru. Wijaya juga mensuplai batik untuk segala macam keperluan termasuk seragam batik para petugas lapangan.

Untuk upacara adat dipercayakan pada campernik, milik salah satu keluarga tika. Wah gebyoknya luar biasa indah.. lengkap mulai dari siraman dan untuk acara adat. Campernik juga menjadi penyelamat untuk mencari penari tanggai, tarian adat palembang.


Undangan dari Angel jl wastu kencana. konstrain bahwa undangan harus bermanfaat kalo tidak mau kecil dan sederhana (for the sake of our earth) diterjemahkan dg bentuk frame foto yang bisa dipakai.

Catering untuk resepsi dan akad nikah menggunakan Gens jl kacapiring.. banyak jenisnya semuanya enak dan anak2 senang karena dapat bonus bulan madu ke Bali. Pengalaman Gens membuat sarannya sangat membantu dan dapat diandalkan.

Catering untuk pengajian jumat di katamso, saya minta tolong TS90, tamansari... fleksibel dan responsif.. karena tidak mau ribet untuk makan keluarga yg mulai kumpul sejak kamis saya juga minta tolong mereka dan mereka bersedia walaupun jumlah pesanan kurang dari 100. Selain itu juga tenda dan kursi untuk siraman juga di koordinir mereka. Keluarga yang datang ditempatkan di vila cisangkuy, jl cisangkuy.. pegawai yg ada di sana bersahabat dan rumahnya cukup besar untuk menampung sampai 15 orang dg halaman yang cukup luas.

Dekor dari fusia, jl rajiman (tomodachi), sangat indah, property bagus dan berkualitas dan mau meladeni permintaan pengantin yang ingin 'beda'. Foto bacteria dan Video Audi, sekumpulan anak muda kreatif yang mengembangkan hobbi menjadi bisnis dan profesi.. menyenangkan bergaul dengan mereka, selalu siap membantu.



Souvenir resepsi dari Rizal anggrek, Lembang. Saran packagingnya sangat membantu, dan penuh tanggungjawab dalam delivery. Souvenir pengajian (surah quran) dari Bu Neni, Bintaro.. buku indahnya jadi rebutan..

Musik oleh wijaya musik yang orchestranya mengiringi tari tanggai dengan lagu gending Sriwijaya' membuatku merinding. Belum pernah kudengar lagu itu dimainkan sedemikian indahnya. Menariknya pertunjukan 'live' orchestra mengiringi tarian hanya dg latihan seadanya di sore hari sebelum resepsi.

Make up pengantin dan ortu ditangani oleh bellstar yang sangat profesional. Hasilnya terlihat natural, walaupun menggunakan berton-ton dempul untuk jerawatku yg lagi sangat tidak bersahabat. Untuk hari Jumat saya minta teh nunung yg biasa mengurus rambutku untuk mendadani, hasilnya tak kalah.. mas arie malah bilang lebih natural, mungkin karena ada jerawat yg masih ngintip..

EO dipegang sendiri oleh pengantin putri yg sampai jelang akad nikah masih sibuk dg HPnya. Pelaksanaan dibantu oleh teman2 pusair yg tak kenal lelah dan penuh tanggung jawab... keluarga para pihak serta selusin pasang teman2 bhakti n tika yang bertopi 'lancip' yg seyogyanya juga jadi 'panitia' penuh, belakangan terlibat dalam ajang reuni keluarga dan reuni sekolah.


Terimakasih kepada semua pihak yang telah membuat our dream comes true..Terimakasih pula pada semua sanak dan sahabat yang telah hadir maupun yg tidak bisa hadir atas doa dan perhatiannya..

(semoga tulisan ini dapat membantu teman2 yang akan menyusul mantu... penjelasan lebih lanjut bisa lewat japri)

24 November 2009

Taman Bermainku (#4): Kepinding


Usia Boni dan Oti hanya berselisih beberapa bulan saja, namun Boni sudah bersekolah di SD dan Oti masih di TK Kecil. Sebetulnya Boni dan Oti pernah duduk sebangku, namun kepinding menyebabkan keduanya terpisah sekolah. Inilah kisahnya.
Pagi itu Boni sangat senang. Itu hari pertama dia bersekolah. Boni yang biasanya sangat susah diajak mandi, hari itu penuh semangat bersiap-siap ke sekolah. Tasnya yang baru sudah diisi dengan buku tulis buku gambar, pinsil, pinsil berwarna, penghapus aneka warna dan berbau wangi seperti permen, dan peraut pensil yang berbentuk bola bumi kecil. Boni, bersama kakaknya Tila, sepupunya Oti, dan beberapa sepupunya yang biasa menjadi temannya bermain, menjadi murid kelas 1, SD Muhammadiyah II, Balayudha, Palembang. Memang begitulah kebiasaan yang ada di keluarga besar Boni. Semua sepupu yang biasa bermain bersama, masuk sekolah bersama-sama pula walau perbedaan usia mereka terpaut cukup jauh, bisa mencapai 2 tahun. Tentu saja kemampuan mereka menerima pelajaran tidaklah sama, sehingga pada akhir tahun biasanya ada saja yang terpaksa tinggal kelas.
Ketegangan pergi sekolah untuk yang pertama kali tidak terlalu terasa karena mereka mengalaminya bersama-sama. Yang menyenangkan, jarak ke sekolah cukup jauh dan mereka pergi bersama, di antar mobil Suburban yang dikemudikan oleh Mang Akib yang gemar bercerita. Perjalanan cukup lama dengan melewati pusat kota. Mereka berangkat agak siang, karena kelas 1 masuk pukul 10 pagi.
SD Muhammadiyah Balayudha baru beberapa tahun didirikan. Gedung sekolah bercat putih berjendela kaca yang berkilau ditimpa sinar matahari, berdiri megah di tengah halaman yang cukup luas. Saat tiba di sekolah, di halaman terlihat anak-anak sedang berolah raga. Boni berteriak kegirangan mengenali salah satu dari anak perempuan yang sedang berlatih kayang itu adalah saudaranya yang duduk di kelas 6. Boni sangat suka melihat gerakan kayang dan berangan segera bisa melakukan gerakan itu.
Bagian dalam dari gedung sekolah membentuk simetri yang rapi. Di tengah ada Ruang Guru, bangunan persegi yg berjendela kaca sedemikian banyaknya, sehingga terkesan transparan. Meja Guru berjejer di sekeliling ruangan menghadap ke dalam. Ruang antara pintu masuk dan ruang guru dimanfaatkan sebagai koridor utama yang kedua dindingnya dipenuhi oleh papan pengumuman. Di kiri-kanan pintu masuk ada ruang-ruang Kelas 1 sampai Kelas 4. Ruang Kelas 5 dan Kelas 6 membentuk kaki hurup U yang melingkupi Ruang Guru. dan sedikit lebih tinggi dari ruang lainnya. Keseluruhan ruang dihubungkan oleh koridor dan tangga yang lapang, kelas 1 menempati ruang di kanan pintu masuk sekolah dengan pintu di dekat tangga menuju ke kelas 6. Karena sekolah baru, muridnya belum begitu banyak.
Boni dan saudara-saudaranya menduduki kursi dan meja sesuai dengan petunjuk Ibu Guru. Kursi-kursi itu terbuat dari kayu dengan sandaran punggung dan tengahnya terbuat dari bantalan rotan agar lebih empuk. Tiap meja mempunyai dua kursi. Boni duduk semeja dengan Oti yang terlihat sedikit ketakutan. Beberapa kali Boni diam-diam memegang tangan Oti untuk menenangkannya. Oti memang paling dekat dengan Boni. Untuk menenangkan diri, Oti merapihkan kedua tas mereka di laci meja. Walau lebih kecil, Oti lebih rajin dan rapih dibanding Boni yang cenderung berantakan. Tapi Boni lebih berani dari Oti. Mungkin karena dia lebih tua, dia selalu merasa harus melindungi adik sepupunya itu.
Setelah dipimpin Bu Guru membaca surat Al Fatihah bersama-sama dan sedikit perkenalan, Bu Guru mulai mengajar membaca, memperkenalkan kelas dengan abjad ABC. Oti tidak terlalu memperhatikan pelajaran. Tangan kecilnya sering menggaruk belakang pahanya. Boni juga merasa pahanya panas dan gatal, tapi hanya sesekali menggaruk pahanya. Rasa gatal diatasinya dengan duduk bergeser-geser maju mundur di kursinya. Bel pulang terdengar, para murid dipimpin Bu Guru bersama membaca surat Al Ashr dan diakhiri dengan salam. Mang Akib dan mobil suburbannya sudah menunggu untuk mengantar pulang. Hari pertama sekolah berakhir tanpa insiden berarti.
Sampai di rumah Boni langsung menangis karena pahanya gatal sekali. Pahanya merah karena digaruk sepanjang perjalanan pulang, dan banyak bentol-bentol. Mak Yah, pengasuhnya bilang, itu pasti karena gigitan kepinding. Kepinding atau kutu busuk itu sering berdiam di bantalan kursi rotan yang jarang dijemur dan dibersihkan. Sejak itu, sebelum berangkat sekolah, Mak Yah mengolesi paha Boni dan Tila dengan minyak kayu putih agar tidak digigit kepinding. Lumayan, walau hanya bertahan sampai lonceng istirahat dan setelah itu rasa gatal mulai terasa kembali.
Hari keempat, saat bel istirahat berbunyi Boni langsung lari ke halaman setelah dari kaca jendela terlihat ada anak-anak yang sedang senam. Dia duduk di pinggiran teras sekolah dan mengamati setiap gerakan dengan takjub. Hampir 10 dia di halaman, lamat-lamat terdengar suara tangis yang dikenalnya. Kembali ke kelas, dilihatnya Oti sedang menangis di pintu, sambil mengangkat bajunya dan menggaruk-garuk pahanya. Para sepupunya tidak mampu meredakan tangis Oti. Dari arah tangga menuju kelas 6 ada beberapa anak yang lebih lebih besar, tertawa mengejek, sambil melagukan, “kepinding-kepinding!” berulang-ulang.
Terbersit penyesalan di hati Boni, dia lupa sama sekali pada adik sepupunya itu gara-gara ingin melihat anak-anak yang berolahraga. Mungkin Oti mencarinya keluar kelas, dan tanpa sadar di depan pintu mengangkat bajunya sambil menggaruk-garuk pahanya yang gatal memerah dan kontras dengan kulitnya yang sangat putih. Dasar anak kecil! Tingkahnya itu dilihat oleh anak-anak kelas 6 yang lalu mengejeknya. Dibujuknya agar Oti berhenti menangis. Namun tak guna mengatakan dia juga merasa kesal dengan rasa gatal di paha, karena yang membuat Oti menangis bukan hanya rasa gatal itu, tapi ejekan anak-anak kelas 6 yang mengatainya ‘kepinding’.
Boni jengkel sekali dengan anak-anak yang sudah besar itu. Beraninya hanya dengan anak kecil! Dia dan saudara-saudaranya berteriak berusaha menghentikan ejekan tersebut, namun teriakan mereka malah menyebabkan ejekan makin menjadi. Suara ejekan itu baru reda setelah terdengar bunyi lonceng tanda istirahat berakhir dan Ibu Guru menuju kelas dan memarahi anak-anak nakal itu. Oti masih tersedu dan tidak mau masuk kelas, karena beberapa teman sekelas juga ada yang setengah berbisik mulai melantunkan, ‘kepinding, kepinding’. Ditemani Boni, dia duduk di depan pintu sekolah menunggu mobil jemputan.
Keesokan harinya Oti menolak pergi sekolah. Demikian juga hari berikutnya. Percuma Boni dan sepupunya yang lain membujuknya untuk kembali bersekolah saat berenang dan bermain bersama di garang rumah Yai. Percuma juga bujukan Mbik dan kakak-kakaknya. Walau masih kecil Oti memang keras hati dan tidak mau dipaksa-paksa.
Seminggu kemudian, Boni gembira sekali melihat Oti sudah duduk manis di mobil Mang Akib saat dia masuk ke mobil. Akhirnya sepupu kecilnya itu kembali bersekolah, pikirnya. Tapi setelah duduk bersebelahan, terlihat ada yang berbeda. Oti tidak membawa tas buku seperti sepupunya yang lain. Yang dibawanya adalah kotak makanan dan termos plastik kecil tempat minum. Ternyata, setelah seminggu mogok sekolah, akhirnya orang tua Oti memutuskan untuk memindahkan Oti ke sebuah TK, karena Oti hanya mau bersekolah di ‘sekolah main dan makan’. Mungkin memang sekolah makan itu yang lebih tepat untuk Oti, yang memang masih berusia kurang dari 5 tahun.
Begitulah kisah kepinding, alias kutu busuk, serangga bau yang nakal, yang membuat Boni dan Oti tidak bersekolah di sekolah dan kelas yang sama.
22 november 09

15 November 2009

Temu Alumni

Rasanya tahun 1995-an ya, event Temu Alumni Asrama Putri yang notabene reuni, digelar lagi. Berdekatan (atau bersamaan ya Lupa nih...) dengan rangkaian Cinta Boga Nusantara. Ada demo masak bersama Rudi Choirudin yang sangat ternama di masa itu,, diselenggarakan di Aula Barat ITB. Ada juga lomba masak nasi goreng untuk bapak-bapak yang disambung dengan lelang wajan teflon, dilanjutkan dengan agenda temu alumni di asrama putri Jl. Gelap Nyawang.
Kakak-kakak senior lulusan Asrama Putri datang dan berkunjung lagi ke Asrama Gelap Nyawang, bernostalgia dan bertukar cerita. Semua tampak bahagia, walaupun (pastinya) sempat dimintai sejumlah dana. Haha...! Panitia bekerja keras juga tuh untuk mewujudkan acara itu, di sela-sela jadwal kuliah dan aktivitas lainnya. Selain mencari sponsor untuk kegiatan demo dan lomba masak, persiapan di belakang layar juga perlu pemikiran dan usaha untuk mewujudkannya. Logo Cinta Boga Nusantara aku yang buat, dimatangkan oleh Mayang, mahasiswa DKV 92. Mayang juga yang membuat desain mug untuk cendera mata peserta temu alumni, berupa sebuah mug keramik bergambar bunga dan dedaunan dengan tulisan "Asrama Putri", lengkap beserta alamat dan nomor telepon, Jl. Gelap Nyawang no. 2 Bandung, 40132 telp. (022) 2503799.
Siapa yang masih punya mug ini...?

04 September 2009

Puasa di Asrama

Bulan Ramadhan begini, teringat lagi masa-masa tinggal di asrama dulu. Dalam rentang waktu '93-'96, tentulah beberapa Ramadhan kulewatkan di sana.
Mengenang saat sahur dan berbuka dengan memanfaatkan fasilitas makol alias makan kolektif. adalah sebuah perjalanan ke masa silam. Ketika kita bergantian menyusun menu selama seminggu, suka-suka kita dong untuk request makanan apa saja yang kita suka. Favoritku adalah ayam cabai hijau. Dipadu sop sayuran yang panas, waah... bisa lupa segalanya. Menu juara lainnya adalah sate ayam. Wadduuh... maknyuss.
Giliran sahur, tim piket bergiliran memanaskan masakan dan membagi-baginya ke dalam wadah-wadah. Ayo... harus adil. Bangun jam 3 dini hari, masuk dapur atau mbangunin teman-teman, bagi tugas aja.
Saat berbuka, makanan relatif baru matang. Biasanya kami duduk-duduk di ruang santai, berbincang sambil menungu azan dikumandangkan dari masjid Salman, tetangga sebelah rumah. Kangen juga nih dengan adzan subuh dari Salman.
Foto di atas diambil... hmm... kapan ya? Yang jelas sambil menanti detik-detik berbuka puasa. Siap-siap nge-tek jatah makol masing-masing (kelihatannya sih seperti soto ya, yang di mangkuk-mangkuk itu?), berpose tak mau ketinggalan dong... ;) Ngebela-belain sampe lari-lari, tetep aja telat. Kamera keburu di-shoot, sementara yang lain sudah siap dengan senyum manis masing-masing. Salah satu di antaranya adalah caleg dari salah satu partai besar peserta pemilu kemarin, Dini Mentari, ketiga dari kiri berkerudung putih. Apa kabar Dini...?