28 March 2009

Taman Bermainku




Rumah kayu dua lantai milik Yai menghadap ke Sungai Musi. Yai adalah panggilan kami untuk almarhum kakek. Rumah biasa. Bentuknya seperti umumnya rumah di tepi Sungai Musi. Tapi buat kami, rumah itu adalah taman bermain yang sangat asik . Pulang sekolah kami biasa main di sana. Bagian utama taman bermain kami adalah garang, sebutan untuk teras depan rumah di atas sungai, dari bilah-bilah kayu yang tersusun agak jarang. Jalan ke garang melewati titian kayu tertutup lembaran besi, walau bisa melalui pintu belakang rumah yang selalu terbuka.
Di samping kanan rumah, ada pelataran kayu lumayan luas untuk menjemur pakaian dan sering dipakai menjemur kopi sebelum disangrai. Hamparan kopi di tikar adalah mainan tambahan. Main gunung-gunungan, tebak-tebakan, hitung-hitungan, lempar-lemparan, dan bergulingan di atas biji kopi hangat, semua bisa dilakukan. Main kopi berakhir kalo terdengar teriakan dari dalam rumah.
Kaki kaki kecil kami biasanya langsung menuju tangga ke sungai. Main air di sana memang menyegarkan. Apalagi di siang yang panas. Saling ciprat dan saling dorong, makin seru kalau ada yang tercebur ke sungai yang kecoklatan. Di bawah rumah sering ada rumpun kumpe, sebutan kami untuk enceng gondok, yang tersangkut. Mengambil kumpe adalah aktivitas lanjutan. Kalau ada tanggok, kami menanggok ikan seluang dan udang kecil yang sering ada di bawah rumpun dan akar kumpe. Ikan biasanya di tempatkan di kaleng berisi air. Udang langsung dikuliti dan dimasukkan ke mulut. Kami percaya makan udang mentah bisa membuat kami lebih jago berenang.
Banyak yang bisa dilakukan dengan kumpe. Masak-masakan, misalnya. Daun, batang, dan sulur kumpe dibuat aneka masakan. Kalau dapat pisau pinjaman tanpa bilang lebih baik lagi. Makanan yang paling berharga adalah yang terbuat dari sulur kumpe, apapun namanya. ‘Dapur’ terletak di garang di bawah tangga menuju ke lantai dua. Susunan jarang dari bilah kayu memudahkan membuang sisa kumpe. Kumpe juga dipakai menghias pengantin dengan aneka aksesori seperti gelang, kalung, cincin, anting, dan mahkota.
Pengantin siap, masakan siap. Permainan pindah ke teras lantai dua. Masakan disajikan, pengantin memamerkan hasil dandanannya. Pesta makan minum dimulai, diseling obrolan meniru obrolan para orang dewasa yang kami dengar saat ada kenduri kawin. Tamu tak diundang biasanya muncul. Anak-anak laki. Ikut makan dan ngobrol, tapi lebih sering lagi menggoda yang membuat tangis.
Kalau tidak merusak pesta, anak laki punya mainan lain. Memancing dengan umpan cacing. Kayu garang yang jarang merupakan tempat ideal untuk mancing. Cukup menurunkan tali pancing berkail yang sudah diberi cacing sebagai umpan. Tali pancing cukup digulung di bekas gelondong benang. Anak perempuan yang ingin tahu ikut melongok ke sela garang untuk melihat apakah ada ikan yang terpancing. Biasanya anak laki akan mengganggu anak perempuan dengan cacing yang ada di kaleng.
Pesta bubar dan tambahan anggota mengubah jenis permainan. Perosotan di atas kayu pegangan tangga yang licin mengkilap selalu menjadi favorit, selain dukung-dukungan dan lempar-lemparan bola. Tidak selalu ada yang bawa bola, tapi bola kertaspun tak mengapa. Bosan, anak laki mulai memamerkan keahlian menceburkan diri dari pagar garang ke sungai. Berbagai gaya loncat, masuk air dan menyembul dari air di pamerkan, seperti loncat dan renang indah digabungkan. Tangga berubah menjadi tribun, penonton bertepuk mentertawakan atau mencemooh para atlet. Tapi ini juga tak berlangsung lama.
Penontonpun dan atlet akhirnya berhamburan menuju tangga ke sungai. Berenang. Sebagian langsung terjun, sebagian lainnya meniti papan menuju lanting. Lanting adalah rakit kayu. Di depan rumah ditambatkan beberapa lanting membentuk setengah kolam yg terlindung dari arus dan ombak. Lanting-lanting ini berfungsi sebagai dermaga dan juga sebagai MCK (mandi, cuci, kakus).
Anak-anak kecil biasanya berenang di sekitar tangga dan lanting yang terlindung. Yang lebih besar, lebih suka di bagian luarnya. Semua permainan darat bisa dimainkan di sungai. Kejar-kejaran, petak umpet, main kasti, dan lainnya, ditambah aneka gaya menyelam dan berenang, menyelami balok lanting, berperahu batang pisang, menghadang dan menikmati ayunan ombak kapal lewat. Kapal yang paling ditunggu adalah speed boat, motor cangkuk kami menyebutnya, yang melaju cepat dan menghasilkan ombak yang cukup besar. Favoritku adalah berenang di bawah garang. Selain teduh, sinar matahari sore membentuk lajur-lajur memanjang di permukaan dan aku senang melihat lajur itu sedikit meliuk kalau kubuat riak di air. Kadang ada remis menempel di kayu-kayu penyangga rumah yang dapat dikumpulkan, Cuma harus hati-hati karena kepiting air suka juga berdiam di sana.
Puas berenang, kami duduk dan tiduran di balai-balai kayu yang ada di garang, dibelai angin sepoi tepi sungai. Midang namanya. Tak pernah terasa bosan melihat kapal, perahu dan rakit berlalu. Sungai Musi yang lebarnya beberapa ratus meter cukup sibuk. Rumah di seberang terlihat kecil dan aktivitasnya tak terlihat. Tapi agak di tepi sungai, banyak perahu tambangan hilir mudik dan siap merapat ke lanting kalau ada yang membutuhkan. Kadang ada perahu penjual es putar yang tidak pernah tidak dihentikan. Agak di tengah, kapal kecil, biasanya jelek, melaju pelan menyeret rakit karet atau kayu dari hulu. Lebih di tengah, kapal agak besar yang lebih bagus, diapit oleh satu atau dua tongkang karet atau kopi yang dihelanya menuju pelabuhan Boom Baru. Lebih ke tengah lagi, kapal-kapal lain dan motor cangkuk melaju lebih cepat. Asik juga melihat perahu yang terengah berupaya menyeberang melewati gulungan ombak dari kapal-kapal yang lewat.
Kalau Yai Syam muncul, beliau punya banyak wayat (riwayat) dan permainan untuk kami. Yai Syam adalah adik Yai. Permainan yang jadi favoritku adalah ‘hed-da-hed’. Kami akan antri dan yang mendapat giliran akan dipangku sambil berdendang dan menggoyang kakinya sesuai irama lagu karangannya yang tak jelas artinya. Di akhir lagu ada kata ‘berkedeber’ yang diulang berkali-kali sambil menggelitik pinggang membuat terpingkal geli kadang sampai terjatuh. Namun, lebih sering kami sudah harus keluar sungai sebelum puas karena Yai Syam sudah siap dengan sepotong kayu dan berteriak-teriak menyuruh pulang. Naik ke garang, kami harus merelakan pantat mendapat pukulan kayu, sebelum terbirit pulang. Yang lebih tua mendapat pukulan lebih keras. Untungnya aku termasuk di antara yang termuda.



Zuhriati Zainuddin (26 March 2009)
for my son whom never has a chance to enjoy living by the river





No comments: